Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Pemasyarakatan

Saturday, 14 September 2013

Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Pemasyarakatan


TUGAS KELOMPOK
Mata Kuliah                :    Perlindungan dan Pemberdayaan Hak Anak
Dosen Mata Kuliah     :    Nur Hasanah, SE

MAKALAH

Perlindungan Hukum terhadap Anak pada
Tahap Pemasyarakatan
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada Mata Kuliah
Perlindungan dan Pemberdayaan Hak Anak
OLEH
KELOMPOK V
1.      Hardianti               (11 31 019)
2.      Hasnidar               (11 31 018)
3.      Sarwah                  (11 31 012)
4.      Nurlindawati         (12 31 011)
5.      Nurtanni                (12 31 016)
6.      Herna                    (12 31 025)
7.      A. Marlina             (12 31 028)
PENDIDIKAN GURU RAUDATUL ATFHAL (PGRA)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
AL-GAZALI BONE
2012/2013

KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله رب العالمين. والصلاة والسلام على اشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد وعلى آله وصحبه اجمعين. امابعد

           Assalamu Alaikum Wr.Wb
              Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa pula shalawat dan salam kami panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.
                   Selanjutnya, kami menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami selama penyusunan makalah ini, secara khusus kepada :
1.    Dosen Pembina Mata Kuliah, Nur Hasanah, SE, atas bimbingan dan arahannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
2.    Kedua Orang Tua, atas doa dan bimbingannya.
3.    Rekan Mahasiswa, atas partisipasinya.
            Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami memohon maaf kepada para pembaca apabila terdapat kesalahan didalamnya. Selanjutnya, kami juga mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca guna mencapai kesempurnaan dari makalah ini.
              Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kami khususnya dan para pembaca pada umumnya.
              Wassalamu Alaikum Wr.Wb


                                                                                            Watampone, 24 Maret 2013
                                                                                   

                                                                                                   KELOMPOK V


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan SDM yang berkualitas, anak sebagai generasi penerus harus dapat tumbuh dan berkembang dalam suasana yang menyediakan sarana dan prasarana yang dapat menopang kelangsungan hidup. Sehingga kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental, serta perlindungan dari berbagai gangguan atau marabahaya yang dapat mengancam masa depan dapat tersedia sebagaimana mestinya.Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Di Indonesia sedang berlangsung perubahan tata nilai sosiokultural masyarakat. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap pola perilaku masyarakat dan juga pada proses perkembangan anak. Diperlukan sebuah kecermatan dan perhatian yang ekstra terhadap posisi dan eksistensi anak agar perkembangan anak tetap dalam koridor yang diharapkan dan dapat dihindarkan dari pengaruh negatif pertumbuhan, perkembangan dan perubahan yang terjadi saat ini. Fenomena yang terjadi memperlihatkan bahwa perilaku anak menjurus kepada tindak pidana kejahatan, seperti pemerkosaan, pencabulan, pencurian, perkelahian antar pelajar dan lain-lain sudah mulai menjamur. Hal ini dapat menyebabkan anak tersebut diharuskan berhadapan dengan proses hukum yang disamakan dengan orang dewasa.
Bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai fungsi pemidanaan bukan hanya pemenjaraan tetapi juga suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi warga binaan pemasyarakatan. Usaha ini dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan juga masyarakat agar dapat meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan. Tujuan akhir dari usaha ini adalah agar warga binaan menyadari kesalahan, dapat memperbaiki diri, dan juga tidak mengulangi melakukan tindakan-tindakan pidana di masa yang akan datang.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, masalah-masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1.    Apa pengertian anak ?
2.    Apa pengertian anak yang bermasalah dengan hukum ?
3.    Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak pada tahap pemasyarakatan ?

C.  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan untuk :
1.    Mengetahui pengertian anak.
2.    Mengetahui pengertian anak yang bermasalah dengan hukum.
3.    Mengetahui perlindungan hukum terhadap anak pada tahap pemasyarakatan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Anak
Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).
Pada tingkat Internasional rupanya tidak terdapat keseragaman dalam perumusan batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai anak antara satu negara dengan negara lain cukup beraneka ragam yaitu :
Dua puluh tujuh negara bagian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8-16. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda menentukan batas umur antara 12-18 tahun. Negara Asia antara lain : Srilanka menentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-18 tahun, Kamboja menentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara Asean antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.
Maka bertitik tolak dari aspek tersebut ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak, hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai peraturan ataupun hukum yang berlaku, yaitu :
1.    Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pada Pasal 1 (3) merumuskan, bahwa anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Jadi anak dibatasi syarat dengan umur antara 12 tahun sampai 18 tahun.
2.    Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak (Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Pada Pasal 1 (1) merumuskan bahwa anak adalah seseorang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
3.    Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan.
Pada Pasal 1 angka (2) merumuskan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Batasan umur ini juga digunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Perdata, tetapi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah anak, yang digunakan istilah dewasa yaitu telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun akan tetapi sudah atau pernah kawin, sedangkan belum dewasa adalah seseorang yang umurnya belum mencapai 21 tahun dan tidak atau belum pernah kawin.
4.    Dalam Hukum Perburuhan.
Pada Pasal 1 (1) Undang-undang Pokok Perburuhan (Undang-undang No.12 Tahun 1948) memberikan pengertian anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 tahun kebawah.
5.    Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 45 KUHP, memberikan definisi anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana maka hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah tersebut dikembalikan kepada orang tuanya; walinya ataupun pemeliharanya dengan tidak dikenakan hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan lahirnya Undang-undang No.3 Tahun 1997.
6.    Anak menurut Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No.1 Tahun 1974).
Pada Pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) undang-undang Pokok Perkawinan memberikan batasan-batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
7.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Pada Pasal 330 KUH Perdata memeberikan penjelasan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin
8.    Menurut Hukum Adat Indonesia.
Dalam hukum adat Indonesia maka batasan untuk disebut anak bersifat pluralistik. Dalam artian kriteria untuk menyebut seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya : telah kuat gawe“, “akil baliq”, “menek bajang”, dan lain sebagainya.
9.    Menurut Pasal 1 Konvensi Anak merumuskan pengertian anak sebagai “setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.
Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadiseorang subjek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindaka hukum yang dilakukan oleh anak itu.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator untuk mengatakan bahwa seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah bahwa ia dapat melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik orang tua maupun wali.  Berdasarkan penjelasan-penjelasan beberapa peraturan perundang-undangan diatas, maka dapat dilihat bahwa pengertian anak adalah bervariatif dimana hal tersebut dilihat dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak apakah anak tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat dilihat dari pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah umur adalah seseorang yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak tersebut memerlukan bimbingan untuk kedepannya.

B.  Pengertian Anak yang Bermasalah dengan Hukum
Pasal 1 (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, yaitu :
1)   Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana;
2)   Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena :
1)   Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum; atau
2)   Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau
3)   Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.
Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi :
1)   Pelaku atau tersangka tindak pidana;
2)   Korban tindak pidana;
3)   Saksi suatu tindak pidana.
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang (dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Kamus Besar Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.
Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah sebagai berikut : Juvenile Deliquency yaitu perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.
Menurut Romli Atmasasmita Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.
Menurut Paul Mudikdo memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency, sebagai :
1.    Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan lain sebagainya;
2.    Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat;
3.    Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.
Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan (crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency).

C.  Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Pemasyarakatan
1.    Lembaga Pemasyarakatan Anak
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang “Pemasyarakatan” merupakan landasan yuridis yang menetapkan bahwa terhadap anak pelaku tindak pidana atau anak nakal yang telah diputus dikenai sanksi, berupa pidana penjara, terhadapnya akan dilakukan proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan dan ditempatkan secara khusus dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak (Lapas Anak).
Penempatan secara khusus dalam Lapas Anak berarti pembinaan NAPI anak dilakukan dalam sistem pemasyarakatan. Menurut ketentuan Pasal 60 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa Anak didik pemasyarakatan ditempatkan di Lapas yang terpisah dari NAPI dewasa. Anak yang ditempatkan di Lapas Anak, berhak memperoleh pendidikan dan latihan baik formal maupun informal sesuai bakat dan kemampuan, serta memperoleh hak lain.
Guna melaksanakan pemasyarakatan dan sistem pemasyarakatan tersebut dilakukan oleh suatu lembaga, yaitu Lapas yang merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan NAPI dan Anak Didik Pemasyarakatan (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Mengacu ketentuan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada Bab VI dengan judul Lembaga Pemasyarakatan Anak Pasal 60, menentukan:
a.    Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lapas Anak harus terpisah dari orang dewasa.
b.    Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk pelaksanaan pembinaan terhadap anak pelaku tindak pidana di Lapas Anak diatur di Pasal 20 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa dalam rangka pembinaan terhadap anak pidana di Lapas Anak dilakukan penggolongan berdasarkan umur, jenis kelamin, lamanya pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Dalam melaksanakan pembinaan terhadap Anak Didik Pemasyarakatan sesuai dengan sistem pemasyarakatan maka LPA terlebih dahulu telah mempertimbangkan bahwa usia kematangan jiwa antara terpidana dewasa berbeda dengan terpidana anak dengan ciri khas yang masih bersifat labil dan belum memiliki kematangan jiwa, sehingga terhadap terpidana anak perlu diterapkan metode pendekatan yang tepat dan terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan mental anak tersebut.
2.    Anak Didik Pemasyarakatan dan Hak-Haknya
Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terdapat batasan pengertian mengenai Anak Didik Pemasyarakatan, yaitu :
a.    Anak Pidana.
Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b.    Anak Negara.
Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

c.    Anak Sipil.
Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Dari ketiga jenis Anak Didik Pemasyarakatan tersebut, berdasarkan Pasal 22 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) serta Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, masing-masing jenis Anak Didik Pemasyarakatan memiliki hak yang hampir sama, yaitu :
a.    Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b.    Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c.    Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d.   Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e.    Menyampaikan keluhan;
f.     Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g.    Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya;
h.    Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
i.      Mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan untuk perbedaan hak dari ketiga jenis Anak Didik Pemasyarakatan itu, adalah :
a.    Anak Negara mempunyai penambahan hak untuk mendapatkan :
1)   Pembebasan bersyarat;
2)   Cuti menjelang bebas.
b.    Anak Pidana mempunyai penambahan hak untuk mendapatkan :
1)   Pembebasan bersyarat;
2)   Cuti menjelang bebas;
3)   Pengurangan masa pidana (remisi).
Dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 juga diatur mengenai hak anak yang ditempatkan di Lapas, meliputi hak untuk memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut kemudian dicantumkan secara lebih jelas mengenai hak-hak Anak Pidana, Anak Negara, serta Anak Sipil dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
3.    Pembinaan Narapidana Anak
Metode pembinaan atau bimbingan narapidana anak, sebagai berikut :
a.    Pembinaan berupa interaksi langsung yang bersifat kekeluargaan antara pembinaan dengan yang dibina.
b.    Pembinaan bersifat persuasif edukatif yaitu berusaha merubah tingkah lakunya melalui keteladanan dan memperlakukan adil diantara sesama mereka sehingga menggugah hatinya untuk hal-hal yang terpuji. Dengan menempatkan anak didik pemasyarakatan sebagai manusia yang memiliki potensi dan harga diri dengan hak-hak dan kewajiban yang sama dengan manusia lain.
c.    Pembinaan berencana secara terus menerus dan sistematis.
d.   Pemeliharaan dengan peningkatan langkah-langkah keamanan yang disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi.
e.    Pendekatan individual dan kelompok.
f.     Untuk menambah kesungguhan, keikhlasan, dan tanggung jawab melaksanakan tugas serta menanamkan kesetiaan dan keteladanan dalam pengabdian terhadap negara, hukum, dan masyarakat. Petugas pemasyarakatan sebaiknya memiliki kode perilaku dan dirumuskan dalam bentuk “Etos Kerja”, yang berisi petugas Pemasyarakatan adalah abdi hukum, pembina narapidana atau anak didik dan pengayom pelaksanaan tugas, bertekad menjadi suri tauladan dalam mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila.
Walaupun proses pemasyarakatan yang dilakukan dengan menjalankan pembinaan terhadap terpidana anak telah diupayakan memenuhi dan sesuai dengan kebijakan yang diatur dalam perundang-undangan, serta memperhatikan hak terpidana dan didasarkan dengan asas-asas pembinaan yang tepat dan terbaik bagi anak, serta dilaksanakan dengan metode pendekatan yang telah memperhatikan kepentingan anak, namun dalam kenyataannya tetap akan memberikan citra negatif bagi anak, terutama bagi kepentingan perkembangan dan pertumbuhan jiwa anak, semestinya penjatuhan pidana terhadap anak benar-benar harus bersifat ultimum remidium atau sebagai upaya terakhir apabila cara-cara lain memang sudah tidak ada yang dipandang tepat.
Mengingat anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.
Pembinaan atau bimbingan merupakan sarana yang mendukung keberhasilan negara dalam menjadikan narapidana menjadi anggota masyarakat yang baik. Lembaga Pemasyarakatan Anak ikut berperan dalam pembinaan narapidana yang mempunyai tugas untuk memperlakukan narapidana agar menjadi baik.
Dalam pembinaan itu, yang perlu dibina adalah pribadi narapidana dengan membangkitkan rasa harga diri dan mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat sehingga setelah mereka keluar dari Lapas bisa menjadi manusia yang berpribadi baik dan bermoral tinggi.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari makalah yang telah kami paparkan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
ü Pengertian anak adalah bervariatif, dimana hal tersebut dilihat dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak apakah anak tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat dilihat dari pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah umur adalah seseorang yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak tersebut memerlukan bimbingan untuk kedepannya.
ü Pasal 1 (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, yaitu :
a.    Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana;
b.    Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana. 
ü Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Pemasyarakatan.
1)   Guna melaksanakan pemasyarakatan dan sistem pemasyarakatan tersebut dilakukan oleh suatu lembaga, yaitu Lapas yang merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan NAPI dan Anak Didik Pemasyarakatan (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Mengacu ketentuan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada Bab VI dengan judul Lembaga Pemasyarakatan Anak Pasal 60, menentukan:
a.    Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lapas Anak harus terpisah dari orang dewasa.
b.    Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)   Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terdapat batasan pengertian mengenai Anak Didik Pemasyarakatan, yaitu :
a.    Anak Pidana.
b.    Anak Negara.
c.    Anak Sipil.
Dari ketiga jenis Anak Didik Pemasyarakatan tersebut, berdasarkan Pasal 22 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) serta Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, masing-masing jenis Anak Didik Pemasyarakatan memiliki hak yang hampir sama, yaitu :
a.    Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b.    Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c.    Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d.   Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e.    Menyampaikan keluhan;
f.     Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g.    Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya;
h.    Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
i.      Mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3)   Metode pembinaan atau bimbingan narapidana anak, sebagai berikut :
a.    Pembinaan berupa interaksi langsung yang bersifat kekeluargaan antara pembinaan dengan yang dibina.
b.    Pembinaan bersifat persuasif edukatif yaitu berusaha merubah tingkah lakunya melalui keteladanan dan memperlakukan adil diantara sesama mereka sehingga menggugah hatinya untuk hal-hal yang terpuji. Dengan menempatkan anak didik pemasyarakatan sebagai manusia yang memiliki potensi dan harga diri dengan hak-hak dan kewajiban yang sama dengan manusia lain.
c.    Pembinaan berencana secara terus menerus dan sistematis.
d.   Pemeliharaan dengan peningkatan langkah-langkah keamanan yang disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi.
e.    Pendekatan individual dan kelompok.
f.     Untuk menambah kesungguhan, keikhlasan, dan tanggung jawab melaksanakan tugas serta menanamkan kesetiaan dan keteladanan dalam pengabdian terhadap negara, hukum, dan masyarakat. Petugas pemasyarakatan sebaiknya memiliki kode perilaku dan dirumuskan dalam bentuk “Etos Kerja”.

B.     Saran
Dari kesimpulan di atas maka kami selaku penulis dapat memberikan saran, yakni :
1.    Karakteristik anak berbeda dari orang dewasa, baik jasmani, rohani maupun sosial. Misalnya, belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, akal yang belum sempurna, belum dapat membedakan yang benar dan salah, baik dan buruk, serta belum matang dan stabil. Oleh karena itu apabila seseorang anak melakukan tindak pidana maka tidak hanya dilihat sifat jahat dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan, tetapi diperhatikan juga kondisi dan latar belakang melakukan tindak pidana tersebut.
2.    Apapun dan bagaimanapun kondisi anak, tetap membutuhkan perlindungan dan perhatian guna meningkatkan, mengembangkan dirinya sebagai generasi penerus dan menjadi manusia yang berkualitas. Walaupun anak telah melakukan tindak pidana maka perlindungan dan perhatian terhadapnya serta upaya pembinaan (pola pembinaan) harus menjadi tanggung jawab bersama secara integral dan tidak hanya seolah-olah menjadi tanggung jawab Lapas Anak saja. Oleh karena itu, sosialisasi dan diseminasi informasi harus terus dilakukan guna meningkatkan partisipasi semua pihak dalam melaksanakan pola pembinaan secara terpadu.
3.    Agar pelaksanaan pembinaan terhadap anak pidana dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka petugas diberi kesempatan untuk menambah ilmunya melalui pelatihan atau penataran yang diadakan oleh kementerinan hukum dan HAM. Mengangkat petugas petugas seperti : dokter, psikiater, sosiolog, krimonolog, dan ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan dalam pembinaan.


DAFTAR PUSTAKA



0 komentar :

Post a Comment