MODEL PEMBELAJARAN PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Thursday, 5 September 2013

MODEL PEMBELAJARAN PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


A.      Pendahuluan
            Anak usia dini menurut UU No 20 tahun 2003 anak yang berusia antara
 0 sampai 6 tahun adalah berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Hasil konvensi Jenewa tahun 1979 aspek –aspek yang harus dikembangkan pada anak usia dini adalah aspek motorik, bahasa, sosial, emosi, kognisi, moral dan kepribadian. Banyak pertanyaan bagaimana mengajarkan anak agar semua aspek perkembangan itu dapat terstimulasi dengan baik. Dalam rangka mengoptimalkan  pencapaian tujuan pembelajaran pada pendidikan anak usia dini yang sesuai dengan aspek
perkembangan, maka Bredekamp dan copple, 1997 menyatakan bahwa ”pelaksanaan program pembelajarannya dapat melayani anak dari lahir sampai usia delapan tahun yang dirancang untuk meningkatkan perkembangan intelektual, sosial, emosional, bahasa  dan fisik anak”. Oleh karena itu, dianjurkan memilih dan menggunakan model- model pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran yang dapat menstimulasi aspek perkembangan anak  secara simultan untuk semua aspek perkembangan anak adalah dengan pembelajaran tematik. Hendrick (dalam Kostelnik, 1991) menyatakan pembelajaran tematik dapat membantu anak mengembangkan semua peikirannya dalam kegiatan belajar, karena dalam pembelajaran tamatik, anak dapat membangun konsep melalui hubungan di antara informasi yang satu dengan informasi lainnya (antara satu topik dengan topik lainya. Jadi dengan pembelajaran tematik, sejak dini anak-anak sudah terlatih menghubungkan/ mengkaitkan hal yang satu dengan hal lainnya, objek yang satu dengan objek lainnya. Keterlatihan ini sehingga anak menjadi biasa menghadapi situasi yang memang adanya saling keterkaitan antara satu masalah dengan masalah lainnya, yang pada akhirnya anak memiliki kemampuan survive menghadapi berbagai situasi baru dalam kehidupan nyata. Sebenarnya pembelajaran tema adalah khas bagi anak usia dini dari jenjang pendidikan anak usia dini sampai kelas-kelas awal Sekolah Dasar (kelas 1, 2, dan 3). Semua kegiatannya melibatkan pengalaman langsung bagi anak-anak serta memberikan berbagai informasi atau pemahaman tentang lingkungan sekitar anak. Kegiatan ini juga memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan keterampilan lebih lanjut seperti mengendalikan kemampuan motorik halus, mengobservasi, membandingkan, menyimpulkan, mengingat, menghitung, bermain peran serta mengeksplorasi gagasan.
Diantara model-model pembelajaran yang dapat membantu anak mengembangkan semua pikirannya secara holistik dalam kegiatan belajar, dan sesuai dengan perkembangan anak adalah :

Model pembelajaran kooperatif
Model pembelajaran kontekstual.
Model pembelajaran Moving Play

Pembelajaran Kooperatif
1.    Pengertian.
Pembelajaran kooperatif yang dikenal dengan cooperatif learning adalah merupakan salah satu bentuk pembelajaran bagi anak usia dini. Pembelajaran kooperatif adalah merupakan metode pembelajaran yang dalam pelaksanaanya membagi anak dalam kelompok- kelompok satu dengan yang lain bekerja sama dan berpartisipasi dalam belajar dan bertanggung jawab satu sama lain.
Pembelajaran kooperatif banyak digunakan pada pembelajaran anak usia dini, karena dapat melatih kemampuan kerjasama, perkembangan sosial anak, dapat melatih rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan yang menjadi tugasnya, membangun kemampuan berinterkasi, berbagi ide, pendapat, mampu mengendalikan emosi, bersedia memberi dan menerima.
Johnson dan Johnson ( dalam Yudha M. Saputran & Rudyanto, 2005: 50) menyebutkan bahwa ”sistem pengajaran gotong royong atau pembelajaran kooperatif dapat didefinisikan sebagai sistem kerja atau kelompok yang terstruktur termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individu, interkasi personal, keahlian kerjasama, dan proses kelompok. David, dkk (dalam Slamet Suyanto, 2005: 154) mengidentifikasikan empat elemen dasar dalam belajar kooperatif yaitu: 1). Adanya saling ketergantungan yang menguntungkan pada siswa dalam melakukan usaha secara bersama-sama; 2). Adanya interaksi langsung di antara siswa dalam satu kelompok, 3). Masing-masing siswa memiliki tanggung jawab untuk bisa menguasai materi yang diajarkan; 4). Pengunaan yang tepat dari kemampuan interpersonal dan kelompok kecil yang dimiliki oleh setiap siswa.
Wina Sandjaya, 2008 menyampaikan ada empat unsur dalam kegiatan belajar yang dilakukan oleh anak (siswa) dalam kelompok-kelompok, yaitu: 1) adanya peserta dalam kelompok, 2) adanya aturan kelompok, 3) adanya upaya belajar setiap anggota  kelompok, dan 4) adanya tujuan yang harus dicapai.
            Peserta adalah siswa (anak) yang melakukan proses pembelajaran dalam setiap kelompok belajar. Pengelompokkan siswa bisa ditetapkan berdasarkan beberapa pendekatan, diantaranya pengelompokkan yang didasarkan atas minat dan bakat siswa (anak), pengelompokkan yang didasarkan atas latar belakang kemampuan. Pendekatan apapun yang digunakan, tujuan pembelajaran haruslah menjadi pertimbangan utama.
            Aturan kelompok adalah segala sesuatu yang menjadi kesepakatan semua pihak yang terlibat seperti siswa dengan siswa yang ada dalam kelompok. Seperti pembagian tugas, waktu bekerja dan lainnya.
Upaya belajar adalah segala aktivitas siswa (anak) untuk meningkatkan kemampuannya yang telah dimiliki maupun meningkatkan kemampuan baru, berkaitan dengan kemampuan dalam aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Aktivitas pembelajaran tersebut dilakukan dalam kegiatan kelompok, sehingga antarpeserta dapat saling membelajarkan melalui tukar pikir, pengalaman maupun gagasan.
            Aspek tujuan dimaksud adalah untuk memberikan arah perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Melalui tujuan yang jelas , setiap anggota kelompok dapat memahami sasaran setiap kegiatan belajar.
Manfaat dari penggunaan model pembelajaran kooperatif di atas Slavin (dalan Sanjaya, 2008: 242) menyebutkan ada dua alasan menggunakan model pembelajaran kooperatif yaitu; (1) beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. (2)  pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan.

2.    Prinsip-prinsip pembelajaran Kooperatif.
            Dalam penggunaan pembelajaran kooperatif  hendaknya memperhatikan prinsip dasar, seperti yang dikemukan oleh Wina Sandjaya, 2008: 246) yakni:
1.      Prinsip ketergantungan positif (Positive Interdenpendence)
Dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota. Dengan demikian, semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan.
Untuk terciptanya kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok masing-masing perlu membagi tugas sesuai dengan tujuan kelompoknya. Tugas tersebut tentu saja disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Inilah hakekat ketergantungan positif, artinya tugas kelompok tidak mungkin bisa diselasaikan manakala ada anggota yang tak bisa menyelesaikan tugasnya, semuanya memerlukan kerja sama yang baik dari masing-masing anggota kelompok. Anggota kelompok yang mempunyai kemampuan lebih, diharapkan maup dan mampu membantu temannya untuk menyelesaikan tugasnya
2.      Tanggung jawab perseorangan (individual Accountablity)
Prinsip ini merupakan konsekwensi dari prinsip pertama. Oleh karena itu keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota harus memberikanyang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya. Untuk mencapai hal tersebut, guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok. Pinalain individu bisa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus sama.
3.      Interaksi Tatap muka (Face to face Promotion Interaction)  
Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan , memanfaatkan kelebihan masing-masing anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing. Kelompok belajar kooperatif dibentuk secara heterogen, yang berasal dari budaya, latar belakang sosial, dan kemampuan akademik yang berbeda. Pebedaan semacam ini akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok.
4.      Partisipasi dan komunkasi (participation Communication)
Pembelajaran koopretaif melatif siswa (anak) untuk dapat mampu berpartisipasi dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Oleh karena itu , sebelum melakukan kooperatif, guru perlu membekali siswa (anak) dengan kemampuan berkomunikasi. Tidak setiap siswa (anak) mempunyai kemampuan berkomunikasi, misal kemampuan mendengar dan kemampuan berbicara, padahal keberhasilan kelompok ditentukan oleh partisipasi setiap anggotanya.
Untuk dapat melakukan partisipasi dan komunikasi , siswa (anak) perlu dibekali dengan kemampuan-kemampuan berkomunikasi . Misalnya cara menyatakan ketidaksetujuan atau cara menyanggah pendapat orang lain secara santun, tidak memojokkan; cara menyampaikan gagasan dan ide-ide yang dianggap baik dan berguna.
            Penggunaan model pembelajaran kooperatif hendaklah memperhatikan prinsip-prinsip di atas, sebagia acuanya termasuk dalam pelaksanaan pembelajaran di anak usia dini.

3.    Tujuan penerapan pembelajaran kooperatif adalah:
1.      Menyiapkan anak didik dengan berbagai keterampilan- keterampilan yang sangat bermanfaat bagi kehidupannya seperti ketrampilan berkomunikasi , berinteraksi, bersosialisasi, bekerjasama.
2.      Memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan semua aspek perkembangan, aspek perkembangan intelektual, aspek hubungan sosial, aspek perkembangan emosi dan fisiknya.
3.      Membangun wawasan dan pengetahuan anak mengenai konsep benda-benda atau  peristiwa yang ada di lingkungannya.
4.      Meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri

4.    Metode  pembelajaran kooperatif
            Metode  pembelajaran yang banyak digunakan dalam pembelajaran di pendidikan anak usia dini, dan dapat meningkatkan keterampilan anak dalam penguasaan kemampuan motorik, bahasa, sosial, emosional, kognitif,  moral dan kepribadian diantaranya adalah
1.      Metode Berpasangan
2.      Metode Berkepala bernomor
3.      Metode Proyek
4.      Metode Jigsaw (khusus bagi anak usia enam tahun ke atas)

4.1.  Metode Berpasangan
            Metode berpasangan adalah merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang banyak digunakan pendidik/ guru PAUD termasuk TK dalam mengembangkan penguasaan kemampuan motorik, bahasa, sosial, emosional, kognitif, moral dan kepribadian anak. Metode berpasangan dalam pembelajaran kooperatif di PAUD ada dengan cara teknik mencari pasangan, dan bertukar pasangan.
a.    Teknik Mencari pasangan
            Teknik mencari pasangan di rancang dalam suasana bermain. Anak mempelajari sesuatu harus mencari berpasangan. Pasangan dapat  dirancang untuk dua orang, tiga orang atau empat orang.  Pasangan yang dicari oleh setiap anak adalah temannya yang memiliki kode  nomor yang sama (cocok) atau dapat pula berupa nama, seperti pasangan laki-laki adalah perempuan, pasangan siang adalah malam, anak yang memiliki nomor satu berpasangan dengan anak yang memiliki nama buah atau bola yang bernomor satu, begitu seterusnya.
Langkah-langkah menggunakan teknik mencari pasangan adalah
1.      Pendidik menyiapkan beberapa kartu-kartu yang memiliki pasangan-pasangan baik berupa nomor atau nama menyangkut tema atau sub tema
2.      Kemudian kartu-kartu tersebut di bagi setiap anak yang terlebih dahulu telah di acak. Jadi masing-masing anak dapat satu kartu.
3.      Selanjutnya anak mencari pasangannya seperti anak yang bernomor satu mencari temannya yang memiliki nama atau benda yang bernomor satu, atau anak yang memiliki tulisan siang mencari pasangan nya yang memegang kartu yang bertulisan malam, begitu setrusnya
4.      Setelah masing-masing menemukan pasangan, guru/ pendidiknya meminta semua pasangan untuk membacakan nama kartu atau melihat gambar yang ada pada kartu yang di pegang masing-masing pasangan mereka, pada kartu tersebut ada petunjuk kerja.
5.      Anak bermain dengan pasangan sesuai petunjuk yang ada pada  kartu, dibawah bimbingan guru/pendidik.
Contoh: Adi mendapat kartu bernomor 1, berarti ia mencari temannya yang memegang kartu yang juga bernomor satu. Di masing- masing kartu itu ada gambar kucing yang belum ada warna, maka anak-anak diminta untuk memberi warna. Dapat juga petunjukkan anak melihat area/ sudut yang ada gambar kucing berarti anak- anak bermain di area / sudut tersebut, disitu sudah tersedia krayon dan spidol, kertas gambar kucing yang belum di beri warna.

b.    Teknik Bertukar Pasangan
            Teknik bertukar pasangan pada pendidikan anak usia dini dapat dirancang untuk kelompok kecil maupun kelompok besar. Prinsip pembelajaran kooperatif dengan bertukar pasangan untuk pendidikan anak usia dini dalam suasana bermain adalah anak di beri kesempatan untuk belajar dengan teman yang bukan pasangan kelompoknya.
            Langkah-langkah yang dapat di tempuh oleh guru/ pendidik PAUD adalah:
1.      Pertama guru membagi anak-anak didiknya dalam kelompok yang berpasangan. Seperti kelompok A, kelompok B, dan kelompok C, Bisa nama kelompok nama buah atau nama hari dan lain-lain yang menarik. Anggota kelompok dapat terdiri dari 2 sampai 4 orang anak.
2.      Setiap kelompok pasangan mendapat tugas yang dikerjakan dapat sama, dapat pula berbeda.
3.      Setelah selesai mengerjakan diserahkan/ ditempel di dinding yang telah disediakan.
4.      Kemudian setiap pasangan kelompok saling bertukar, terbentuk pasangan baru mereka saling menanyakan dan menyatukan jawaban atau pendapat, sehingga menghasilkan jawaban yang kemungkinan sama atau berbeda dengan kelompok pasangan awalnya.
5.      Kelompok baru selesai bekerja, guru/ pendidik meminta anak-anak mengamati hasil kerja mereka, baik pada pasangan pertama maupun hasil kerjanya pada saat pasangan mereka yang ke dua, apa ada perbedaan atau terdapat persamaan   
Contoh: Adi dan Budi mereka satu kelompok yaitu di kelompok buah Apel, sedangkan Dodi dan Agus mereka satu kelompok yaitu di kelompok buah Mangga. Kedua kelompok mengerjakan tugas menyusun Puzzle Buah Mangga. Setelah selesai, hasil kerja mereka ditempelkan di dinding. Kemudian tahap berikut mereka bertukar pasangan, Adi dapat berpasangan dengan Dodi, sedangkan Budi berpasangan dengan Agus. Tugasnya dapat sama dapat pula berbeda dengan tugas yang pertama tadi. 

c.    Metode Berkepala Bernomor  bertukar pasangan
            Metode berkepala bernomor termasuk salah satu bentuk model pembelajaran  yang sering dipakai oleh pendidik/ guru PAUD. Metode ini dapat menstimulasi perkembangan fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial, emosianal, moral dan kepribadian anak. Hal ini akan terlihat ketika anak belajar dalam kelompok yang mendorong  berkembangnya aspek-aspek perkembangan tersebut.
Metode ini di rancang guru memberi kesempatan kepada anak untuk saling tukar pendapat/ jawaban dan mendorong semangat kerjasama dalam suasana bermain.
            Langkah yang dapat dilakukan oleh guru/ pendidik PAUD dalam menerapkan metode ini adalah:
1.      Guru membagi anak dalam beberapa kelompok
2.      Setiap anak dalam setiap kelompok di beri nomor. Contoh Kelompok A. Dengan jumlah anggota 4 orang, maka anak dalam kelompok A ini deberi nomor ada bernomor 1, adapula bernomor 2, 3 dan 4. Begitu juga untuk kelompok B dengan jumlah ada 4 misalnya mereka juga diberi nomor, ada nomor 1, ada nomor 2, 3, 4
3.      Tugas yang diberi kepada setiap kelompok. Tugas tersebut dapat sama untuk setiap kelompok dapat pula berbeda. Tugas itu telah dirancang dengan diberi nomor 1, 2, 3,dan 4
4.       Anak mengerjaka tugas disesuaikan  nomor urut tugas dengan nomor urut yang dimilikinya.
5.      Setelah selesai masing-masing anak yang mendapat tugas yang sama dapat saling mencocokkan pekerjaannya, dapat dengan cara menempelkan atau menyampaikan di depan kelas.   
Contoh: Adi bernomor 1 dan Budi bernomor 2 mereka satu kelompok yaitu di kelompok buah Apel, sedangkan Dodi bernomor 1dan Agus bernomor 2 mereka satu kelompok yaitu di kelompok buah Mangga. Kedua kelompok mengerjakan tugas menyusun Puzzle Buah Mangga. Setelah selesai, hasil kerja mereka ditempelkan di dinding. Kemudian tahap berikut mereka bertukar pasangan, Adi yang bernomor 1 di kelompok buah Apel berpasangan dengan  Dodi yang juga bernomor 1 di keompok buah Mangga. Tugasnya dapat sama dapat pula berbeda dengan tugas yang pertama tadi. 


d.   Metode Proyek
            Metode proyek merupakan salah satu metode yang sering digunakan pada  proses pembelajaran anak usia dini termasuk TK. Metode ini memberikan pengalaman belajar pada AUD melalui bermain bersama dalam kelompok yang dikenal dengan konsep ”learning by doing”. Metode ini termasuk salah satu penerapan model pembelajaran kooperatif. Menggunakan metode proyek, anak melatih anak bekerjasama, bertanggungjawab, dan mengembangkan kemampuan  sosial.
Pelaksanaan metode ini ditempuh tiga tahap, yakni 1). tahap pendahuluan (yang disebut juga tahap persiap oleh guru), 2). tahap penyelidikan atau pengamatan, dan 3). Tahap presentasi.
1). Tahap pendahuluan, guru membentuk anak dalam kelompok, menjelaskan tugas kepada anak pada setiap kelompok, (satu anak mengamati daun, yang lain mengamati batang, kemudian mengamati uratnya, baik berkaitan warna, bentuk, ukurannya).
2). Tahap pengamatan, masing-masing anak melakukan tugas yang sesuai dengan pembagiannya, serta melakukan pencatatan.
3). Pada tahap presentasi, setelah selesai anak menyampaikan apa yang mereka temukan.
Pemilihan topik hendaknya disesuaikan dengan minat,menarik, yang sudah fameliar bagi anak, serta menyenangkan.
Contoh. Kelompo A terdiri dari 5 orang anak, bertugas mengamati batang  pisang
              Kelompok B terdiri dari 4 orang bertugas mengamati daun pisang,
              Kelompok C terdiri dari 5 orang bertugas mengamati buah pisang’
              Setelah selesai setiap kelompok bertanggung jawab mempresentasikan
              hasil pengamatan di kelas
            Tugas kelompok ini dapat dalam bentuk membuat sesautu, seperti membangun gedung dari balok dalam pembuatan mereka bekerja secara gotong royong.

e.    Metode Jigsaw
            Metode pembelajaran jigsaw dapat digunakan dalam proses pembelajaran di PAUD. Proses pembelajaran dengan metode ini anak-anak dirancang dalam kelompok dengan suasana bermain. Metode ini lebih menekankan untuk menstimulasi pengausaan keterampilan mendengar, berbicara,membaca dan menulis. Memang metode ini lebih tepat untuk anak yang telah memiliki pemahaman dan yang dapat mengolah informasi.
            Langkah-langkah penggunaan metode jigsaw ini adalah sebagai berikut;
1.      Guru membentuk anak dalam kelompok- kelompok seperti kelompok A, B dan C, yang masing-masing kelompok terdiri dari 2 atau 3 orang anak. Masing-masing anak tersebut di beri nomor, begitu juga untuk kelompok lainnya
2.      Selanjutnya guru memberi bahan/ tugas untuk masing-masing anak di setiap kelompok.
3.      Tugas yang diberikan berbeda setiap anak yang ada dalam satu kelompok. Seperti untuk anak no 1 berbeda dengan anak no 2 begitu juga untuk anak no 3.
4.      Setelah masing-masing anak mendapat tugas, maka anak nomor urut 1 dari kelompok satu (1) bergabung dengan anak no urut 1 dari kelompok B mengerjakan tugas no satu (1), begitu pula anak no urut 2 bergabung dari kelompok A bergabung dengan anak no 2 kelompok B untuk mengerjakan tugas no 2 , begitu selanjutnya.
5.      Setelah selesai mereka mengerjakan tugas, selanjutnya masing-masing kelompok menyampaikan hasil kerjanya dapat berupa menempelkan atau membacakan di depan kelas.
 

Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual yang dikenal dengan CTL (Contextual Teaching and Learning ) merupakan salah satu strategi pembelajaran lebih banyak mendorong keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran.  CTL merupakan suatu bentuk strategi pembelajaran yang memandang pentingnya hubungan antara materi pelajaran dengan kehidupan nyata.  Pembelajaran CTL ini saat ini banyak diterapkan oleh guru/pendidik dimulai dari TK/PAUD sampai perguruan tinggi. Sebenarnya pembelajaran di anak usia dini/TK sudah menerapkan dan menggunakan pembelajaran CTL yang lebih dikenal dengan ”tematik”. Berbagai objek yang ada di sekitar kehidupan anak baik berupa kejadian, dan isu yang menarik dapat diangkat sebagai ”tema” pembelajaran melalui ”bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain”. Dalam pembahasan berikut akan mengajak anda untuk mendorong mengetahui apa yang dimaksud dengan pembelajaran CTL, bagaimana karakteristiknya, bagaimana langkah-langkah penerapannya
1. Konsep CTL
CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkanya dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2008).
Pendekatan pembelajaran CTL ini bukanlah merupakan hal baru, ide pembelajaran kontekstual ini sudah lama dikembangkan oleh paham konstruktivisme yang selanjutnya dikembangkan ahli psikologi kognitif sejak puluhan tahun yang lalu seperti Piaget. Menurut aliran ini bahwa proses belajar terjadi karena pemahaman anak /siswa terhadap akan lingkungannya. pengetahuan diperoleh dari proses mengkonstruksi melalui pengalaman. Jadi ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi dengan lingkungannya, jadi tidak datang sendiri tapi melalui mengkonstruksi pengalaman yang dialami sendiri dengan lingkungannya. Piaget (1993) mengatakan bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) asimilasi; (2) akomodasi; dan 3) equilibrium.
Proses asimilasi adalah suatu proses dimana anak menyatukan pengetahuan yang baru diterima ke struktur kognitif  yang sudah ada dalam benak anak. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibrium adalah proses penyesuaian antara asimilasi dan akomodasi. Lebih lanjut Piaget  mengatakan bahwa sebenarnya seseorang sejak bayi telah memiliki struktur kognitif, kemudian strukur ini disebutnya sebagai skema. Skema terbentuk karena pengalaman. 
Perhatikan contoh berikut ini bagaimana terbentuknya pengetahuan. Seorang anak merasa sakit karena tersayat ”pisau” yang dimainkannya. Berdasarkan pengalaman itu terbentuk skema (struktur kognitif) anak tentang pisau, bahwa pisau adalah sesuatu yang menyakitkan, membahayakan, karenanya pisau harus dihindari, dijauhi, bahkan sebagian anak melihat pisau saja ia sudah menjerit-jerit ketakutan. Sebelum anak memperoleh pengalaman baru tentang pisau setiap melihat pisau tetap menghindar, menjerit. Sejalan dengan bertambahnya eksplorasi terhadap lingkungan ia memperoleh pengalaman baru tentang pisau. Ia melihat pisau digunakan oleh ibunya mengupas mangga, memotong sayuran. Dari pengalaman baru itu, terbentuk skema baru dalam struktur kognitif anak tentang pisau bahwa pisau tidak selalu harus dihindari, dijauhi, ditakuti melainkan ada gunanya. Proses penyempurnaan pengetahuan baru ini menurut piaget disebutnya sebagai proses assimilasi. Sejalan dengan proses perkembangan anak, maka bertambah pula pengalamannya, ia melihat kenyataan bahwa pisau banyak digunakan dalam kehidupan seperti selain di rumah, di restoran, di pasar daging, dan lainnya maka terbentuklah skema baru lagi tentang pisau dalam struktur kognitifnya, bahwa pisau bukan hanya ada manfaatnya tetapi sangat dibutuhkan untuk kehidupan manusia di lingkungan dalam memenuhi kebutuhan di berbagai setting/tempat.
Dari contoh di atas, tampak dengan jelas bahwa pengetahuan terbentuk  dari proses mengkonstruksi pengalaman nyata dialami seseorang anak. Sebenarnya banyak contoh-contoh   seperti  konsep tentang  api, air, angka, bilangan, perkalian, kucing, cacing, burung dan seterusnya.    
2. Karakteristik CTL
Clifford dan Wilson (dalam Suyanto, 2005) mendeskripsikan beberapa karakteristik  yang harus diperhatikan dalam penerapan CTL yaitu sebagai berikut.
a.       Menekankan adanya pemecahan masalah (problem solving). Dalam pembelajaran hendaknya ada persoalan yang dikaji. Persoalan tersebut hendaknya riil, menarik, menantang dan bermakna bagi siswa. Tiap kelompok dapat mencari solusi pemecahan dengan cara masing-masing, sehingga hasilnya akan lebih variatif (tidak menuju satu ke satu jawaban benar)
b.      Pembelajaran terjadi di bi berbagai konteks (multiple contexs). Pembelajaran tidak menonton di kelas. Pembelajaran dapat terjadi dimana saja , seperti di sawah, di ladang, di bengkel, di industri. Pengajaran tidak selalu guru, petani, pedagang, pembuat roti, peternak, dokter atau orangtua siswa yang memiliki keahlian khusus dapat  menjadi pengajar
c.       Membimbing siswa untuk memonitor hasil belajarnya sehingga ia mampu belajar secara mandiri.  Siswa dibimbing bagaimana cara belajar (learning how to lern) agar kelak dapat belajar secara mandiri. Bila anak bertanya suatu istilah, guru tidak harus menjawabnya, tetapi memberikan kamus dan mengajari anak bagaimana menemukan arti istilah tersebut
d.      Pembelajaran menggunakan berbagai ragam kehidupan siswa sebagai titik pijak. Siswa berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang sosial dan budaya yang berbeda. Pengetahuan awal, budaya, cita-cita dan tipologi masyarakatnya menjadi modalitas belajar.
e.       Mendorong siswa untuk saling belajar dengan temannya. Belajar adalah proses individual, tetapi cara anak belajar dapat dilakukan melalui kegiatan kelompok agar dapat saling bertukar pikiran, ide, dan rasa antar siswa.
f.       Menerapkan otentik asesmen (authentic assessment). Evaluasi tidak bertujuan memberi nilai dan label setiap anak.  Asesmen bertujuan untuk mengetahui sejauhmana siswa belajar dan bagaimana cara dia belajar paling baik. Dengan demikian guru  dapat memberi bantuan kepada siswa untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Dialog antara guru dengan siswa akan kemajuan belajarnya erlu dilakukan agar siswa mengevaluasi diri sendiri. Portofolio hasil presentasi, hasil-hasil lomba, dan karya siswa dibangun bersama antara siswa dan guru.
Sanjaya (2008) mengatakan dalam proses pembelajaran menggunakan pendekatan CTL ada lima (5) karakteristik yang harus diperhatikan seperti berikut ini:
a.       Dalam CTL pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang dimiliki keterkaitan satu sama lain
b.      Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detilnya.
c.       Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.
d.      Mempratekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
e.       Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa dalam penerapan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual hendaknya melalui: (1) merencanakan; (2) mengimplementasikan; (3) merefleksikan; (4) menyempurnakan pembelajaran; dan (5) asesmen dengan memperhatikan:
a.       Pembelajaran dimulai dari pengetahuan yang sudah ada pada anak
b.      Materi yang dipelajari hendaknya merupakan pengembangan dari pengetahuan yang sudah ada dimiliki anak
c.       Pengetahuan yang baru diperoleh bukan hanya sekedar ingatan melainkan dapat dipahami bahwa pengetahuan tersebut memiliki manfaat bagi kehidupannya
d.      Pengetahuan tersebut dapat diterapkan dalam berbagai setting, seperti rumah , sekolah, masjid, pasar, bandara, sawah, pabrik.
e.       Pembelajaran dengan memperhatikan kebutuhan individu anak, kemudian berbasis masalah, berbasis inquiry, berbasis tugas, dan berbasis kelompok
Guru dalam merencanakan berpedoman kepada konsep DAP (development approute practice) kondisi sosial emosional, kognitif, fisik motorik dan bahasa, dilakukan dalam bentuk kelompok/ area/sudut yang disetting dalam kelompok kecil dan besar.
3. Langkah-Langkah Pembelajaran Kontekstual untuk TK/PAUD
Berdasarkan uraian terdahulu bahwa pembelajaran kontekstual hendaknya berdasarkan masalah, berdasarkan inquiry, berdasarkan tugas/proyek, dan berdasarkan kelompok. Untuk mencapai kompetensi tersebut dengan pendekatan pembelajaran kontekstual, maka guru hendak melakukan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut.
a.      Tahap Persiapan
1) Pengantar
Menginformasikan kepada semua anak tujuan dari kegiatan pembelajaran, metode pembelajaran yang digunakan, langkah-langkah, aturan dalam melakukan kegiatan pada pembelajaran serta memberikan motivasi belajar
2) Memilih Tema
Guru bersama-sama anak berdiskusi, bertukar pikiran untuk memilih tema apa yang akan dipilih, kegiatan apa saja yang akan dilakukan yang berkaitan dengan tema tersebut. Gunanya adalah untuk membuat skema/struktur kognitif anak terbentuk terhadap tema sehingga memudahkan melakukan kegiatan secara keseluruhan.
Contoh
Tema   : Aku,  
Sub tema ; Ulang tahunku
Kegiatan yang akan dilakukan : Membuat kalimat ulang tahun dengan menempelkan huruf, menghias kue ulang tahun dengan plastisin, Membuat topi ulang tahun dari karton, mendekorasi ruangan yang akan dipakai, meniup balon  dan sebagainya
3)  Mengorganisir Siswa
 Guru mengorganisir anak dalam beberapa kelompok-kelompok kecil. Kemudian setiap kelompok diminta memilih kegiatan apa yang akan dilakukan yang berdasarkan tema yang telah ditetapkan bersama.
Contoh : Guru membagi anak beberapa kelompok
Kelompok Jambu    : tugasnya membuat topi
Kelompok Mangga : tugasnya membuat kue
Kelompok Apel       : tugasnya membuat kalimat ulang tahun
Kelompok Jeruk      : tugasnya mendekor ruangan
4) Membuat perencanaan
Guru bersama-sama anak merencanakan kegiatan yang akan dilakukan yang sesuai dengan tema dan bentuk kegiatan yang telah ditentukan terdahulu yang dimulai dari langkah pertama sampai tahap  penyelesaian .
b.      Tahap Pelaksanaan 
1) Tahap Bekerja
Pada tahap ini semua kelompok siap melakukan kegiatan sesuai dengan yang telah disepakati, guru memonitor dan membantu bila ada yang mengalami kesulitan dengan memberikan arahan /petunjuk
2) Tahap Presentasi
Tahap ini semua kelompok telah menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan hasil kerja anak dipamerkan/diperlihatkan/ dipajang
c.       Tahap Penutup/Penilaian
Pada tahap penutup biasanya guru melakukan recalling terhadap pengalaman bermain sambil kerja atau bekerja sambil bermain setiap anak


Pembelajaran Moving Play
            Model pembelajaran moving play anak belajar dalam kelas(tempat belajar) yang berpindah dari satu ruangan ke ruang yang lain ( Ruang A, Ruang B dan Ruang C) dengan materi yang berbeda
Teknis pelaksanaan pembelajaran ini anak di bagi ke dalam beberapa kelompok. Kelompok tersebut bisa tiga atau lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Masing-masing kelompok secara bergantian masuk kedalam rungan satu ke ruang yang lain pada hari/ kesempatan lain pada hari berikutnya

Kelebihan model moving play :
1.      Anak mendapat perhatian lebih dari guru
2.      Tingkat kebosanan anak dapat diminimalkan
3.      Potensi dan kemampuan anak dapat teraktualisasikan
4.      Anak mendapatkan kesempatan banyak dalam mencoba permainan
5.      Bakat anak dapat terdeteksi secara dini

Kelemahan model ini
1.      Memerlukan ruang yang cukup
2.      Memiliki guru yang terlatih
3.      Memiliki fasilitas yang cukup untuk  memenuhi kebutuhan anak



0 komentar :

Post a Comment