Konsep Kufur Menurut Aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah
Para Mutakallimin selalu
mengaitkan persoalan iman ini dengan kufur. Persoalan-persoalan kufur timbul
dalam sejarah bermula dari tuduhan kufurnya perbuatan sahabat-sahabat yang
menerima arbitrasi sebagai penyelesaian perang Siffin. Selanjutnya
persoalan hukum kafir ini bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum
dengan al-Quran, tetapi juga orang yang melakukan dosa besar, yaitu murtakib
al-kabair sehingga melahirkan perbedaan pendapat tentang murtakib
al-kabair ini,[1]
apakah masih tetap mukmin atau sudah kafir, yaitu keluar dari Islam?
Bagaimanakah kedudukan mereka di dunia dan di akhirat? Apakah orang yang
melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka atau adakah kemungkinan keluar
dari neraka dan masuk syurga?
Sebelum menjawab persoalan-persoalan tersebut, perlu
dinyatakan, apakah faktor yang termasuk dalam dosa besar. Ada hadis-hadis yang
mengatakan bahwa dosa besar selain syirik ialah:
a.
Zina
b.
Sihir
c.
Membunuh manusia tanpa sebab yang dibolehkan Allah
d.
Memakan harta anak yatim piatu
e.
Riba
f.
Meninggalkan medan perang
g. Memfitnah perempuan yang baik-baik.[2]
Konsep kufur menurut
aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah.
1.
Khawarij
Menurut mayoritas
pemuka Khawarij, berpendapat bahawa semua dosa besar adalah kufur, orang yang
melakukan dosa besar itu dihukum kafir dan kekal di dalam neraka.[3]
Pendapat ini diutarakan oleh golongan cabang al-Muhakkimah yang paling
awal dalam Khawarij.
Khawarij cabang
Azariqah pula pergi lebih jauh ekstrim dari golongan pertama. Mereka menghukum
sebagai syirik bagi orang yang melakukan dosa besar. Di dalam Islam syirik
lebih besar dari kufur,[4]
bahkan lebih jauh dari itu bagi golongan Azariqah menyatakan bahwa yang menjadi
musyrik bukan hanya orang Islam yang melakukan dosa besar saja, tetapi juga
semua orang Islam yang tidak sefahaman dengan mereka.
Berlainan dengan
Khawarij cabang Ibadiah, mereka tidak sependapat dengan Azariqah, menurut
mereka orang yang tidak masuk golongan mereka bukanlah musyrik dan bukanlah
pula mukmin, paling berat ia boleh dikatakan kafir. Mereka membagi golongan
kafir ini kepada dua golongan:
a.
Kafir al-Ni’mah
Ialah orang yang tidak
bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang diberikan Tuhan.
b.
Kafir al-Millah
Ialah orang yang keluar
dari agama.
Bagi golongan Ibadiah, orang yang melakukan dosa
besar termasuk dalam arti yang pertama, yaitu mereka masih tetap muwahhidun,
sah syahadatnya,[5]
boleh nikah dan waris mewarisi, bahkan yang terpenting haram darah mereka, artinya
tidak diperangi.[6]
Nampaknya pendapat Ibadiah ini lebih sederhana dari Azariqah. Bagi Azariqah,
orang yang tidak masuk golongan mereka boleh diperangi, kerana bukan daerah
Islam tetapi adalah dar al-harb atau dar al-kufr, darah mereka
adalah halal. Yang dianggap dar al-Islam bagi mereka hanyalah orang yang
termasuk wilayah atau golongan mereka saja.[7]
Menurut al-Bazdawi, konsep Khawarij mengatakan bahwa
orang yang meninggal dunia dalam keadaan berdosa besar dan berdosa kecil yang
tidak bertaubat akan kekal dalam neraka.[8]
2.
Murjiah
Bagi kaum Murjiah
secara umumnya berpendapat bahawa soal kufur dan tidak kufur adalah lebih baik ditunda
saja sampai ke Hari Pengadilan Tuhan di akhirat kelak,[9]
sebab itu, kaum Murjiah tetap menganggap sahabat-sahabat yang terlibat dengan arbitrase
adalah orang-orang yang dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar.
Tetapi ada juga di kalangan cabang puak Murjiah yang mempersoalkan tentang soal
kufur seperti Muhammad Ibn Karran. Menurutnya, orang-orang yang tidak mengucap
dua kalimah syahadah, serta orang yang mendustakan dan mengingkari adanya Allah
dengan perkataan bukan dengan perbuatan adalah kafir.[10]
Argumentasi Murjiah, ialah bahwa orang Islam yang
melakukan dosa besar masih mengucap dua kalimah syahadat dan Nabi Muhammad
adalah Rasul-Nya, orang seperti ini masih mukmin bukan kafir atau musyrik.[11]
Dalam dunia ini ia tetap dianggap mukmin bukan kafir. Soal di akhirat
diserahkan kepada keputusan Tuhan, kalau dosa besar diampunkan, ia segera masuk
syurga, kalau tidak akan masuk neraka untuk waktu yang sesuai dengan dosa yang
dilakukan dan kemudian masuk syurga.[12]
3.
Mu’tazilah
Pendapat tentang kufur berikutnya, ialah dari aliran
Mu’tazilah. Pendapat Mu’tazilah tentang murtakib al-kabair ini, ialah
sebagai bukan kafir dan bukan pula mukmin. Konsep Mu’tazilah disebut manzilah
bain manzilataian atau posisi antara dua posisi.[13] Di
akhirat kelak orang yang melakukan dosa besar itu tidak akan dimasukkan ke dalam
syurga dan tidak pula dimasukkan ke dalam neraka yang dahsyat, seperti orang
kafir, tetapi dimasukkan ke dalam neraka yang paling ringan.[14]
Di dalam dunia ini, orang yang melakukan dosa besar
itu bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi fasiq, tidak boleh
disebut mukmin, walaupun dalam dirinya ada iman, kerana pengakuan dan ucapan
dua kalimah syahadatnya, dan tidak pula disebut kufur, walaupun amal perbuatan
dianggap dosa, kerana ia tidak mempengaruhi imannya.[15]
Timbul lagi satu pertanyaan, “Siapakah yang disebut
kafir oleh aliran Mu’tazilah?” Menurut majoriti Mu’tazilah, orang yang tidak
patuh terhadap yang wajib dan yang sunat disebut ma’asi. Ma’asi terbagi
kepada dua, yaitu pertama, ma’asi kecil dan kedua ma’asi yang
besar. Ma’asi yang besar dinamakan kufur. Ma’asi yang besar, yang
membawa kepada kufur ada tiga, yaitu:
a.
Seseorang yang menyamakan Allah dengan makhluk.
b.
Seseorang yang menganggap Allah tidak adil atau zalim.
c. Seseorang yang menolak eksistensi Nabi
Muhammad yang menurut nas telah disepakati kaum muslimin.[16]
Kalau patuh dan taat terhadap yang wajib dan sunat
disebut iman, ini bukan bererti kalau tidak melakukan yang wajib dan sunat
langsung menjadi kufur. Menurut Hisyam al-Fathi, salah seorang pemuka
Mu’tazilah, menyebut keadaan seperti itu dengan contoh tentang orang yang
melaksanakan shalat dan berzakat. Menunaikan shalat dan zakat disebut realisasi
iman, maka orang yang melakukan keduanya disebut mukmin, tetapi kalau shalat
dan zakat tidak ditunaikan, orang tersebut tidak boleh pula disebut kafir. Untuk
orang yang tidak melaksanakan yang wajib seperti shalat dan zakat serta lainnya
diistilahkan sebagai fasiq saja.[17]
Sedangkan pendapat Ibad Ibn Sulaiman, dari kalangan
pemuka Mu’tazilah juga, agak sederhana dari pendapat terdahulu, ia berpendapat
iman adalah kepatuhan kepada yang wajib bukan sunat. Seseorang yang tidak
beriman kepada Allah disebut kafir millah, iaitu kafir agama.[18]
Dari pendapat pemuka Mu’tazilah, dapat disimpulkan
bahwa kufur adalah tidak mengucap dua kalimah syahadat dengan iringan keyakinan
penuh; dan fusuq adalah perbuatan dosa besar, serta iman adalah
pengakuan dengan hati yang dinyatakan dengan lisan dan melaksanakan
perintah-perintah Allah serta menjauhi dosa besar.
4.
Asy’ariah
Menurut Asy’ariah
seorang muslim yang berdosa besar jika meninggal dunia tanpa bertaubat,
nasibnya terserah kepada ketentuan Tuhan, mungkin orang itu diampuni Allah
kerana rahmat dan kasih sayang-Nya. Ada kemungkinan juga tidak akan diampuni
Allah dosa-dosanya dan akan diazab sesuai dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan
kemudian baharu ia dimasukkan ke dalam syurga, kerana ia tidak mungkin akan
kekal tinggal dalam neraka.[19]
Ringkasan dari uraian di atas dapat disimpulkan
menurut Asy’ariah orang-orang yang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak akan
kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan masuk
syurga.
5.
Maturidiah
Selanjutnya bagi
Maturidiah, orang yang berdosa kecil, dosa-dosa kecilnya akan dihapus oleh
kebaikan shalat dan kewajiban-kewajiban lain yang dijalankan. Pendapat ini
didasarkan kepada firman Allah surah Hud, 11: 114:
ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ÇnûtsÛ Í$pk¨]9$# $Zÿs9ãur z`ÏiB È@ø©9$# 4
¨bÎ) ÏM»uZ|¡ptø:$# tû÷ùÏdõã ÏN$t«Íh¡¡9$# 4
y7Ï9ºs 3tø.Ï úïÌÏ.º©%#Ï9
Terjemahnya:
Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi
siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam.
Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu mengahapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang jahat. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.[20]
Dengan demikian, dosa-dosa besar, apa lagi dosa-dosa
kecil tidak membuat seseorang menjadi kafir dan tidak membuat seseorang keluar
dari iman.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendapat Maturidiah
mengenai hukum atau status orang yang berdosa besar sama dengan kumpulan Asy’ariah,
yaitu bukan kafir tetapi tetap mukmin. Pendapat ini tentulah bertentangan
dengan konsep Mu’tazilah dan Khawarij. Bagi Mu’tazilah bukan kafir dan bukan
pula mukmin tetapi al-manzilah bain al-manzilataian dengan status fasiq,
sedangkan bagi Khawarij, orang yang berdosa besar adalah kafir.
[1]Lihat, Ibid., h. 7.
[2] Lihat, Harun
Nsution, Islam Ditinjau dari Berbagai
aspeknya, Jilid 11, (Jakarta: UI-Press, 1978), h. 32. Lihat juga, Musa
Syahin al-Asyin, Fath al-Mu’in Syarh Sahih Muslim, Juz 11, al-Jami’ah, h.
18, 24 dan 34.
[3] Lihat, Al-Bazdawi, Op. cit.,
h. 132.
[4] Lihat, Harun Nasution, op.
cit., h. 14
[5] Lihat, Muhammad Ibn Abd al-Karim
al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 135
[7] Lihat, Al-Baghdadi, op. cit.,
h. 62
[8] Lihat, Al-Bazdawi, op. cit.,
h. 132
[9] Lihat, Harun Nasution, op.
cit., h. 22.
[10] Jalal Abd. Hamid Musa, Nasy’ah al-Asy’ariyyah wa tatawwaruha, (Lebanon:
Dar al-Kitab, 1975), h. 206
[11] Harun Nasutioan, Op. cit.,
h. 23.
[12] Ibid., h. 24
[13] Subhi, Fi ‘ilm al-Kalam, (Iskandariyyah:
Tsaqafah al-Jami’ah, 1982), h. 67.
[14] Al-Bazdawi, Op. cit., h.
131
[15] Subhi, Op. cit., h. 161
[16] Jalal Abd. Hamid Musa, Op. cit., h. 303
[17] Ibid., h. 304
[18] Ibid, h. 304
[19] Harun Nasutioan, op. cit.,
h. 29
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (al-Madinah
al-Munawwarah: Mujamma’ Khadim al-Haramayn al-Syarifain al-Malik Fahd li
Thiba’ah al-Mushhaf al-Syarif, 1411), h. 344
Artikel yang bagus
ReplyDeleteasuransi